Minggu, 29 Mei 2011

Gugurnya Rasa Keadilan


Atas terjadinya suatu kasus tindak pidana dalam masyarakat, baik korban maupun pelaku menghendaki adanya rasa keadilan yang didapatkan dalam proses Sistem Peradilan Pidana. Namun pada kenyataannya seringkali hal tersebut tidak terwujud, yang terjadi hanyalah gugurnya rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat. Gugurnya rasa keadilan

tersebut dimungkinkan terjadi dalam Sistem Peradilan Pidana mulai dari elemen penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian, penuntutan di kejaksaan, pendakwaan dan penjatuhan vonis di pengadilan atau bahkan di lembaga pemasyarakatan pun hal tersebut memungkinkan bisa terjadi.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhI5KFGU10G7xX247uNDi2HOKzqn2oeurmdFcM0e4HzvwztfHnpiCnVUERdcO_cAPqkD8HAVAhSWL-73-BVqowBGBglvXK9xd4_pai4YVjtad0klJGu7xcl10oYICZ74GH_cgctfKmig4Up/s320/DewiKeadilan.jpg
Kontroversi dalam penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP sering terjadi, sementara para penegak hukum masih berkutat dalam paradigma formalisme, sehingga banyak kasus-kasus yang semestinya dapat diadili menjadi menguap begitu saja karena keterbatasan pemikiran tentang pelaksanaan penegakan hukum. Padahal tujuan utama dari penegakan hukum adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan.[1] Selama aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah untuk menwujudkan kebenaran dan keadilan, maka pelaksanaan KUHAP akan tetap sering terjadi kontroversi.
Pertama; Pada tingkat kepolisian, rasa keadilan seringkali tidak berpihak kepada para penuntut keadilan baik korban maupun pelaku. Pada beberapa kasus polisi melakukan kesalahan berupa salah menentukan target operasi pelaku kejahatan, sehingga yang terjadi adanya salah tangkap atau yang lebih tragis lagi terjadinya salah tembak yang mengakibatkan meninggalnya korban. Jika terjadi salah tangkap, dan pada kasus tersebut tidak terbukti dalam pemeriksaan atau penyidikan sebagai pelaku kejahatan, korban salah tangkap tersebut bisa dilepas dan direhabilitasi nama baiknya. Jika salah tembak oleh polisi tidak menimbulkan korban meninggal dunia, mungkin saja permintaan maaf dan pemberian kompensasi berupa tanggungan pengobatan dan perawatan akibat luka tembak masih bisa diterima oleh korban. Tetapi jika sampai terjadi salah tembak dan menyebabkan korban meninggal dunia, apa yang harus dilakukan aparat kepolisian? Mungkin saja meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban. Namun yang menjadi masalah, apakah keluarga korban akan begitu saja menerima pemberian maaf dan kompensasi yang dilakukan aparat kepolisian secara individu maupun organisasi, sedangkan korbannya sudah meninggal dunia. Hal tersebut tentunya berbeda dengan kasus salah tangkap. Sebagai contoh kasus salah tangkap, terjadi di Polsek Pondok Gede, Bekasi beberapa waktu yang lalu. Contoh lain seperti kasus salah tembak, terjadi di Kediri baru-baru ini.
Polisi diduga kembali melakukan salah tembak. Yang satu dituduh sebagai penjual togel, yang lainnya disangka pengedar narkoba. Korban penembakan adalah warga biasa, yang tiba-tiba terkena peluru pada bagian pinggang dan tembus sampai perutnya yang ditembakkan oleh seorang petugas Satreskrim Polresta Kediri, Bripka Sam, pada 15 Maret 2007. Ironisnya, petugas tidak memberikan tembakan peringatan terlebih dahulu dalam penggrebekan malam itu. Akibatnya, korban harus menjalani perawatan selama beberapa pekan di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri, karena luka tembak yang dideritanya cukup serius.[2]
Dalam hal penyelidikan dan penyidikan, untuk menetapkan seseorang diduga melakukan tindak pidana dan menjadi tersangka sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 184 yang menyatakan bahwa alat bukti yang syah antara lain; Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Keterangan Tersangka, Surat, Petunjuk.[3] Dalam kasus tersebut di atas, seharusnya petugas polisi tidak sembarang melakukan tembakan terhadap seseorang jika barang bukti dan alat bukti belum memadai untuk menduga seseorang telah melakukan tindak pidana.
Kedua; Pada tingkat kejakasaan, seringkali berkas yang dikirim dari kepolisian harus bolak-balik untuk dilengkapi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kejaksaan membutuhkan bukti-bukti atau kelengkapan berkas administrasi agar pada penuntutan nanti tidak terjadi kesalahan. Namun di sisi lain bolak-baliknya berkas dari kejaksaan ke kepolisian terdapat kepentingan lain di luar ketentuan pelengkapan administrasi penuntutan. Setelah berkas pidana dinyatakan P-21 oleh kejaksaan maka dirumuskan tuntutan jaksa yang akan dibawa ke pangadilan. Namun sering kita mendengar dan membaca berita, tuntutan jaksa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka / terdakwa. Terdakwa yang semestinya mendapat tuntutan berat, ternyata mendapat tuntutan yang ringan. Sehingga rasa keadilan yang diharapkan oleh korban tidak tercapai dari tuntutan jaksa.
Ketiga; Pada tingkat pengadilan, sebagai elemen Sistem Peradilan Pidana yang mempunyai kewenangan untuk menentukan hukuman bagi pelaku tindak pidana, seringkali memberikan vonis yang dirasakan tidak adil oleh korban maupun keluarga korban. Dalam persidangan, hakim sering memberikan vonis lebih ringan dari tuntutan jaksa atau justru terdakwa divonis bebas dengan alasan tidak terbukti atau barang / alat bukti tidak cukup. Jika dinyatakan tidak terbukti bersalah seharusnya pada tingkat penyidikan atau penuntutan, kasus tersebut sudah dihentikan. Sebagai contoh kasus, terjadi di Pengadilan Negeri Manado.
Majelis Hakim PN Manado membebaskan Direktur PT Newmont Minahasa Raya dan perusahaannya dari tuntutan hukum atas pencemaran Teluk Buyat. Lagi, kasus pencemaran lingkungan terpuruk di pengadilan. Dalam kasus tersebut, Direktur PT Newmont Minahasa Raya dan perusahaannya oleh jaksa Penuntut Umum, didakwa sebagai pelaku pencemaran di Teluk Buyat. Namun bagai disambar petir di siang bolong, putusan hakim ternyata menjungkir-balikkan semua angan-angan penduduk sekitar Teluk Buyat. Majelis Hakim menyatakan terdakwa bebas dari segala dakwaan. Majelis Hakim mengambil kesimpulan bahwa semua tuduhan ditolak karena tidak terbukti.[4]
Dari kasus tersebut nampak bahwa, segala keputusan hakim telah membuat masyarakat tidak mendapatkan rasa keadilan. Padahal warga masyarakat sekitar perusahaan pertambangan di Teluk Buyat tersebut telah menderita penyakit yang disebabkan oleh pencemaran limbah yang merusak lingkungan biota laut dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Semestinya hakim menghukum terdakwa sesuai dengan bukti-bukti yang disiapkan oleh penyidik dan tuntutan sesuai dengan yang dituntut jaksa, kenyataanya putusan hakim membebaskan terdakwa. Pengadilan sebagai benteng terakhir mendapatkan keadilan hendaknya dapat memberikan putusan yang mencerminkan keadilan masyarakat serta kepastian, dan kemanfaatan hukum bagi pencarinya tanpa harus menyimpang prinsip dan asas yang terkandung dalam KUHAP.[5]
Selain kasus tersebut di atas masih banyak kasus yang divonis bebas oleh Majelis Hakim dengan alasan tidak cukup bukti atau bahkan tidak terbukti. Di sisi lain selain adanya putusan bebas yang diputuskan oleh pengadilan, adanya putusan hakim yang justru merugikan dan tidak sesuai dengan rasa keadilan terdakwa. Seperti adanya putusan hukuman mati, atau menghukum terdakwa padahal yang bersangkutan tidak bersalah. Seperti kasus Sengkon dan Karta, kasus Sumir, Lingah dan Pancah dll.
Keempat; Pada lembaga pemasyarakatan, seringkali terjadi perlakukan yang diskriminatif terhadap napi yang sedang menjalani hukuman. Atau adanya perlakuan istimewa terhadap napi tertentu dengan memperbolehkannya menggunakan peralatan elektronik maupun peralatan komunikasi yang sebenarnya tidak diperbolehkan. Disamping adanya pemberian fasilitas di dalam ruang tahanan juga adanya pemberian fasilitas berupa adanya keringanan hukuman dengan berulang kalinya diberikan remisi. Sehingga dirasakan tidak adil oleh napi lain yang merasa tidak mampu. Derita di dalam penjara pada umumnya meliputi kehilangan hak untuk menentukan nasib diri sendiri dan rasa aman. Juga, kehilangan hak untuk memiliki barang sendiri.[6] Namun ada napi yang memperoleh fasilitas begitu mewah yang tidak dirasakan oleh napi lain.
Upaya-upaya untuk meminimalisir terjadinya kesalahan yang menyebabkan tidak adanya rasa keadilan bagi pihak korban dilakukan pengawasan oleh Komisi atau Hakim pada Sistem Peradilan Pidana. Sepeti adanya kasus salah tembak atau salah tangkap atau adanya kesalahan prosedur yang dilakukan oleh penyidik kepolisian, maka bagi petugas yang dianggap melakukan kesalahan tersebut akan diperiksa oleh Komisi Kode Etik Kepolisian. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut terdapat kesalahan yang dilakukan oleh petugas tadi maka Komisi Kode Etik akan memberikan sanksi terhadap petugas tersebut. Pada tingkat penuntutan jaksa, jika jaksa melakukan penuntutan yang dirasakan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan mendapat respon keras dari elemen-elemen masyarakat, maka Hakim Kejaksaan akan melakukan pemeriksaan terhadap Jaksa Penuntut Umum yang dianggap melakukan kesalahan. Dan apabila jaksa penuntut umum tadi dinyatakan bersalah maka akan diberikan sanksi. Sebagai contoh kasus, ketika Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Rusdi Tahir yang dicopot dari jabatannya karena bertanggung jawab atas putusan ringan terdakwa narkoba Hariono Agus Cahyono.
Di tingkat pengadilan, para hakimpun mendapat pengawasan. Menyangkut pengawasan hakim, Mahkamah Agung telah menindak 51 aparat pengadilan termasuk 16 hakim. Ada hakim tinggi yang dibatalkan promosinya, kepala pengadilan militer yang dicopot dan lima ketua pengadilan negeri yang diberikan sanksi.[7] Hal tersebut harus benar-benar dilakukan untuk mencegah terjadinya praktek hakim yang nakal, memperjualbelikan perkara atau menerima suap dari terdakwa melalui pengacaranya untuk meringankan atau bahkan membebaskan dari hukuman.
Terlepas dari belum sempurnanya sistem peradilan kita, upaya penegakan terhadap hukum acara dan nilai peradilan harus tetap dijaga dan dipertahankan oleh semua pihak terutama oleh para aparatur pengadilan itu sendiri. Bagaimana masyarakat mau menghormati pengadilan jika para hakim itu sendiri tidak dapat menjaga kewibawaannya sendiri. Menjaga kehormatan pengadilan secara formal tercermin pada penegakan acara sidang pengadilan dan secara sosiologis tercermin dari putusan-putusan hakim yang berkualitas dan berdasarkan hukum dan keadilan. Di samping itu, penegakan hukum acara dan kewibawaan pengadilan harus dijaga dan dipelihara karena hal itu berkaitan langsung dengan pemberian keadilan bagi seluruh pihak yang terlibat di dalam perkara baik itu terdakwa, saksi, dan korban maupun keluarganya.
Sebagai solusinya, sebaiknya penyidik kepolisian maupun penyidik kejaksaan sebagai gerbang pertama penanganan adanya kasus tindak pidana, sebelum melanjutkan perkara / kasus ke tingkat berikutnya harus benar-benar memperhitungkan apakah perkara / kasus tersebut akan terbukti dan mendapat hukuman sesuai ketentuan, atau kasus tersebut akan terhenti di tengah jalan? Karena jika terhenti di tengah jalan maka proses yang telah dilaksanakan menjadi sia-sia, sudah menghabiskan waktu, biaya maupun tenaga tetapi hasilnya tidak maksimal. Adanya opini atau pendapat bahwa ”nanti yang akan membuktikan di pengadilan” hendaknya dihilangkan, karena jika hal tersebut masih diberlakukan, bagaimana dengan orang yang benar-benar tidak bersalah tetapi dipaksa untuk mengakui kesalahannya? Yang bersangkutan harus menjalani interogasi, tuntutan, hukuman dan menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan, ternyata ada yang mengaku melakukan perbuatan yang disangkakan kepada terhukum. Hal tersebut, selain telah membuang banyak faktor (waktu, biaya dan tenaga) juga tentu adanya tanggapan dari masyarakat bahwa proses Sistem Peradilan Pidana tersebut berjalan tidak sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang ada. Sehingga akan menyebabkan kekurangpercayaan masyarakat terhadap penegak hukum. Adanya opini atau pendapat bahwa ”nanti yang akan membuktikan di pengadilan” hanya karena adanya faktor yang mendorong atau memaksa seperti tekanan dari sebagian masyarakat atau karena adanya target operasi dari lembaga penegak hukum.

0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates